Mimpi Yang terbeli


Sampai kapan mimpi-mimpi itu kita beli
Sampai nanti sampai habis terjual harga diri
Sampai kapan harga-harga itu melambung tinggi
Sampai nanti sampai kita tak bisa bermimpi
(Mimpi yang Terbeli – Iwan Fals)


Aku seorang anak jaman yang dibesarkan dari keluarga yang bangkrut, yang tidak mampu meraih mimpinya menjadi seorang ahli kimia. Aku tidak menyalahkan nasib, sama sekali tidak. 

Angin pagi dan nyanyian sekelompok anak muda mengusik ingatanku, aku ingat mimpiku, aku ingat harapan yang semakin hari semakin panjang tak berujung
(Aku Disini – Iwan Fals)

Seperti anak muda pada umumnya aku ingin punya mimpi. Temanku yang itu ingin jadi presiden, temanku yang itu ingin jadi menteri, temanku yang satunya ingin jadi konsultan sedang yang itu ingin jadi pengusaha kaya. Mimpi-mimpi mereka harus tercapai. Harus. Aku tahu mereka adalah orang-orang baik yang juga dibesarkan oleh kegelisahan. Biarkan pengembaraan mereka disaksikan oleh bumi dan diaminkan oleh langit. Mereka adalah inspirasi yang selalu bernyanyi dikala manusia lain sedang berelegi, selalu memegang prinsip dikala manusia lain sedang bermetafora dalam kepalsuan. Aku? Aku ingin bermimpi agar orang-orang disekelilingku bisa bahagia. 

Tahun 2015 memilik makna sebagai susunan dimensi angka antara aku dan proses mengambil keputusan dan tanggung jawab saat aku adalah mahasiswa tingkat akhir. Keputusan mau kemana aku untuk sebuah tanggung jawab yang akan kupersembahkan bagi Umi, Abah, saudara-saudaraku, negara dan agamaku.


1.
Mimpi pertamaku setalah lulus adalah melanjutkan studi di Eropa dalam bidang seni, desain grafis atau perfilman dengan ditanggung oleh beasiswa LPDP. Karena seni modern banyak berkiblat dari sana, lahir lalu berkembang dan mewarnai sisi bagian bumi lain setelahnya. Namun apabila boleh mengajukan satu mimpi tambahan, aku ingin menikah terlebih dahulu. Eropa sangat bebas, terlebih studiku adalah tentang seni. Seni adalah kebebasan jiwa. Apabila mengenal seni terlebih seni setelah masa renaisance, banyak sekali karya baik karya lukis atau patung yang memposisikan manusia telanjang sebagai obyeknya. Kemudian seni-seni tersebut diturunkan dalam perfilman, teater, modelling, fotografi dan sebagainya. Obyek telanjang adalah seni, tapi seni bukan hanya soal itu. Seni adalah mengagungkan keindahan rasa, kemerdekaan jiwa, bukan semata pada nafsu dan egoisme. Aku ingin mengerti hakikat kebebasan jiwa itu di dalam seni. Walaupun aku hanya ingin belajar pada desain grafis dan film sebagai turunan dari seni murni itu, tetapi tetap saja aku tidak tahu kapan setan dapat menegosiasikan hal-hal demikian atasnama kemerdekaan dan kebebasan jiwa. Sebab itu aku perlu ada seseorang disampingku yang tidak mungkin membiarkan jiwaku bebas dan larut dalam pengaruh gaya seni yang demikian, karena separuh jiwaku tersemat pada dirinya.








Kemudian apabila Tuhan yang Maha Kuasa mengabulkan mimpi tersebut, lalu kemana tanggung jawabku atas studi ekonomi syariah ini? Menurut tutur seorang sahabat,

“Ekonomi Syariah adalah model ekonomi terbaik yang diperuntukkan bagi manusia, hewan, dan lingkungan” 
(Fathony Syaukat, 2015)

Ya, aku sangat suka keindahan kutipannya itu, memposisikan ilmu yang aku pelajari 4 tahun ini sebagai suatu model terbaik bagi semesta. Ekonomi adalah juga tentang Surga dan Neraka, bukan hanya tentang perbankan, modal, pasar, supply dan demand.

Namun, apabila Tuhan tidak mengijinkan aku sekolah di Eropa, maka aku akan berusaha belajar secara otodidak dan belajar dengan para ahli desain dan film di dalam negeri. Membuka jasa freelance desain untuk menjemput rezekiNya. Ke Eropa atau tidak aku tetap ingin menekuni kedua bidang tersebut. Karena aku punya alasan yang kuat untuk mewujukan mimpi itu.

Everything happen for a reason. And my reason is about “why do my generation is getting farther and farther from the truth of the gods” ?


Tentang mimpi menjadi pembuat Film

1. Atasnama kebebasan berpikir, dan kemerdekaan berpendapat, ada sutradara yang dengan sangat tendesius terkadang menyerang kebenaran dan melakukan pembenaran dengan pluralisme






 


2. Film dan sinetron yang mengangkat tema tentang islam kebanyakan hanya berfokus pada jalan percintaannya saja. Aku tidak membenci tidak pula menyalahkan, sangat apresiasi terhadap film-film tersebut, saat memang masih pada syariah. Namun islam itu tidak hanya tentang cinta, tidak hanya tentang taaruf dan poligami. Memang karena stereotip masyarakat terhadap film islam seperti demikian, dan merupakan peluang bisnis yang dipandang menuntungkan bagi produser film. Masih sangat sedikit film berkualitas yang bercerita tentang jihad, tentang berbakti kepada orang tua, tentang jual beli, tentang mendidik anak dan semacamnya.

Biasanya judul film islam terdiri dari frase yang menggabungkan kata umum dengan kata islam. Misalnya adalah Ayat-Ayat Cinta, Surga yang tak Dirindukan, Ketika Cinta Bertasbih, Assalamu’alaikum Beijing, Perempuan Berkalung Sorban, Dalam Mihrab Cinta, dan lain lain. Sekali lagi bukan untuk mendiskreditkan film-film tersebut apalagi yang diadaptasi dari novel-novel yang berusaha mengajak penonton kepada kebaikan akhlak. Namun yang perlu dikhawatirkan adalah apabila film tersebut digarap oleh sutradara liberal yang masih belum mengerti hakikat islam, dan berkarya memutar balikan kebenaran islam. Aku hanya ingin melawan dengan karya yang menampakkan hakikat kebenaran islam, menghilangkan kebencian dan stigma pribadi islam yang tercoreng olehnya. 

Maka hanya ada satu kata : Lawan!(Wiji Thukul)

Dan semoga sebelum aku masuk dalam bagian “pembenaran” konsep islam dalam dunia perfilman, sutradara-sutradara yang masih eksis sekarang masih kreatif dalam memberi judul. Aku hanya khawatir ketika muncul film segenre setelah Ayat-Ayat Cinta diberi judul seperti Mukena Cinta, Kotak Amal Cinta, Keranda Cinta atau sinetron seperti Pesantren Rock n Roll dengan judul Majelis Yasin Progressive Metal, Pengajian Ibu-Ibu Alternative Rock atau TPA Masjid Nurul Iman Electronic Core.

3. Aku ingin membuat sebuah film eksperimental tentang sisi lain dari suatu fenomena di Indonesia. Misalnya, saat aku melakukan solo riding Bogor-Sragen-Bogor sejauh kuranglebih 1400 km dengan honda Legenda tua milik kakek (sebuah motor yang selalu dihina eksistensinya karena desainnya tidak kekinian katanya), sepanjang jalur pantura entah itu di daerah Subang atau Indramayu, aku melihat banyak sekali rumah-rumah yang menjual harga diri dari wanita. Ada yang tua ada yang belia. Sejenak aku berpikir tentang mereka, sedemikiankah keadaan ekonomi mengharuskan mereka menjual kehormatan? Pernah aku juga membaca sebuah thread di kaskus tentang survey terhadap wanita-wanita seperti demikian, ternyata 80% dari mereka sebenarnya tidak menikmati pekerjaannya, mempunyai mimpi untuk membesarkan anak dan memiliki keluarga yang bahagia, namun mereka tidak memiliki pilihan. Tidak tahu harus kemana mengadu, dan melakukan semuanya dengan terpaksa. Ketika aku dapat membuat sebuah film tentang mereka dengan estetika tinggi, kemudian dikopi dan ditonton banyak mata, pasti akan memiliki dampak berkumpulnya suaka untuk mereka. Akan datang investor-investor untuk membuka pekerjaan layak bagi mereka atau bahkan pria baik-baik yang mau melindunginya dan membangun keluarga.

Demikian berlaku juga tentang kisah anak jalanan, penjajak koran, pengamen, penyandang disabilitas, guru-guru di pedalaman, penyandang kanker yang miskin, petani buruh yang bingung membiaya pendidikan anaknya, atau nelayan yang tercekik ekonominya akibat tingginya harga solar.


Kemudian alasan menjadi desainer grafis :

1. Menjadi desainer grafis adalah sebuah usaha untuk memperindah tampilan dan fungsi sebuah media secara visual. Dengan berkembangnya media-media pertemenan membuat perlipatan arus penyampaian kebaikan yang lebih mudah. Asumsikan target kebaikanku adalah anak muda, maka semua anak muda yang memiliki akun-akun media pertemanan akan dengan mudah melihat sebuah gubahan ayat-ayat tuhan dengan ilustrasi dan gambar. Sekarang sudah banyak desainer-desainer grafis yang memiliki tujuan sama denganku, berbagi dan menyentuh ruang-ruang jiwa mereka yang sedang kosong.

2. Aku ingin menjadi seorang professional dalam bidang ini. Membangun sebuah yayasan dan sekolah bagi anak-anak jalan, dan penyandang disabilitas untuk menjadi seorang desainer grafis professional juga. Aku yakin. Sangat yakin bahkan. Suatu ketika Indonesia akan berubah menjadi negara metropolitan. Ketika Jakarta menjadi Kota seperti New York, Bandung seperti Tokyo, Surabaya seperti Paris dan Bogor menjadi seperti Beijing, akan banyak sekali papan reklame, iklan, dan kampanye yang bertebaran dimana-mana. 







Tahun ini Presiden Jokowi sudah membuka pintu Investasi asing selebar-lebarnya, mempersilakan investor untuk menanamkan modal dan bersaing di negeri ini. Ini bagus. Sangat bagus untuk pertumbuhan ekonomi. Namun aku tidak mau melupakan nasib anak-anak yang terbuang dari takdir mereka. Mereka harus mewarnai layar-layar raksasa di setiap sudut kota dengan karya mereka, bersaing melawan studio film, iklan dan animasi raksasa seperti Pixar, Dreamworks, Marvel yang pasti akan masuk ke Indonesia. Karya kami harus lebih bagus dari mereka, dan harus menanamkan nilai-nilai kebaikan untuk manusia.




Dengan demikian, aku bisa membantu anak-anak yang semula terbuang menjadi terpandang di mata dunia desain dan seni.

Demikianlah alasan sebagai dasar pijakanku dalam bermimpi. Aku ingin bangsa ini jadi baik. Memiliki pemuda yang tangguh yang selalu optimis mengerja asa. Memberikan hiburan yang tidak sekedar tren, tidak sekedar menghibur namun juga mendidik. Berapa banyak artis media sosial yang dengan jenaka memberikan lelucon yang sangat lucu, namun terkadang jauh dari pendidikan moral. 

Dan tentu saja mengembalikan citra Islam yang sudah susah payah dibangun oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam melalui ancaman pembunuhan dari kalangannya sendiri, dibangun oleh Mush’ab bin Umair yang meninggalkan kemewahan dunianya dan dibangun diatas cinta seorang Ummu Salamah yang berjalan 400 km seorang diri untuk kembali pada suami dan anaknya yang berhijrah ke Madinah.

Islamophobia adalah hal wajar saat ini. Islam adalah ikon teroris dan kekerasan. Islam adalah permusuhan dan kebodohan. Maka aku ingin melawan stereotip itu dengan desain grafis dan film. Aku ingin melawan bersama para da’i, hafizh, ulama dan guru-guru ngaji untuk keadaan manusia yang lebih manusiawi.


2.
Aku ingin membangun keluarga yang hafal dan mengamalkan al quran. Aku ingin menikah dengan seorang wanita shalihah yang pandai mengatur keuangan, yang manis ucapannya membawa berkah bagi kehidupanku. Dia yang mau menemaniku di tepian Ranu Kumbolo dan berbagi secangkir cokelat hangat, bersamaku melaksanakan solat dhuha dipuncak mahameru, dan bercerita tentang masa tua disaksikan gugusan bintang-bintang  diatas Kalimati. Dia yang selalu bersyukur saat sepi pesanan desain, dan selalu mengutamakan sedekah. Memiliki banyak anak, yang salah satunya adalah ahli kimia.






Ketika menikah adalah ibadah, maka ibadah harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Aku tidak khawatir tentang siapa. Karena jodoh, kematian dan rezeki sudah dipersiapkan oleh Tuhan dengan manis. Dia sekarang sedang menungguku sambil melakukan banyak kebaikan sepertinya.

3.
Liburan ke Suriah. Aku menginginkan sekali untuk mengunjungi tanah suriah. Aku bukan ISIS dan tidak ada hubungan dengannya. Hanya seorang yang menderita islamophobia, yang mengaitkan suriah dengan ISIS semata. Di suriah banyak muslim yang dihabisi oleh Syiah pimpinan Bashar al Asad La’natullah alaih. Mereka disuruh sujud kepaad poster besar foto presiden itu dan dipaksa untuk bersaksi tiada tuhan selain Bashar al Asad. Aku ingin kesana duduk sejenak dan bercerita tentang islam di Indonesia yang bahagia dan sejahtera, dan aku ingin mendengar tentang cerita bagaimana ketabahan hidup mereka dibalik gua-gua.

4.
Aku ingin memiliki rumah sederhana dengan banyak benda antik. Memiliki mobil mercedes benz kuno, beberapa vespa dan vinyl yang terus memutar lagu-lagu The Beatles, Queen dan The Who.


5.
Melaksanakan haji bersama orang tua. Ingin sekali aku menginjakan kaki disana, berpijak di tanah kelahiran agama islam melawan penindasan kaum musyrikin. Melihat kakbah dari dekat, menyusun dan mereka ulang sejarah. Membayangkan saat Maryam berlari-lari mencari air untuk Ismail, membayangkan di Gua Hira saat Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu menangis menahan sakit digigit hewan berbisa takut membangunkan Rasulullah yang tidur dipangkuannya.



Demikianlah 5 mimpi kecilku. Mimpi yang akan selamanya menjadi mimpi, saat aku hanya memutuskan berdiam diri, dan hanya terus bermimpi.



Kata seorang sahabat baik, 

“Entrepreneur adalah tentang semangat. Ayo action, jangan hanya rencana” 
(Amirul Hakim 2014)

Seperti kebanyakan orang lihat, aku sekarang hanya banyak menghabiskan diri di rumah. Mengasingkan diri dari segala aktivitas kampus, kecuali kuliah di hari selasa dan kamis siang saja. Sebenarnya aku sama seperti aktivis kampus lainnya. Menaikkan kemampuan diri. Bagi mereka yang masih aktif di organisasi kampus, sangat perlu menaikkan kapasitas diri, berhadapan dengan banyak orang, menjaga adab dan kesantunan, serta belajar banyak berbicara dimuka umum. Terkadang aku iri dengan mereka yang memiliki segudang prestasi, sedang aku bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Aku sedang banyak belajar menaikkan kualitas desain. Memang masih jauh dari kata bagus, namun belajar adalah proses.

Dilihat dari penampilan pun sepertinya aku tidak pantas mendapat apresiasi. Bahkan sebuah lelucon tentang “menikah” membawaku kepada ketajaman kritik seorang kawan “Jan, buang jauh-jauh mimpi lo buat dapetin dia”... 




Penampilan, gaya bicara, gaya berpakaian dan gaya bersikap adalah sengaja aku pilih seperti ini. Supaya aku meletakkan diriku serendah-rendahnya dihadapan orang. Harapanku adalah untuk membuang pembatas antara aku dengan pemulung kecil, dengan satpam, pengamen, buruh bangunan dan sebagainya. Kemudian aku melabelkan diriku sebagai pecinta musik keras. Mengapa harus musik keras? Karena aku sangat terobsesi terhadap gerakan underground tauhid, punk muslim dan semacamnya. Ini hanya sebuah metode. Membuang pembatas. Bagaimana seorang pemabuk berhenti mabuk kalau kita yang membawa hikmah islam menyampaikannya jauh dibalik pembatas.



Contoh One FInger Movement

Jangan pernah menyerah dalam menyampaikan kebaikan. Umar bin Khattab adalah orang yang sangat memusuhi islam, berubah menjadi pembela islam yang sangat gentar. Begitu pula Nabi Nuh, menyampaikan kebenaran 950 tahun namun pengikutnya tidak lebih dari seratus. Bukan urusan kita tentang hidayah kepada seseorang, yang harus kita lakukan adalah menyampaikan. Bagaimanapun metodenya.

Kemudian sudah selayaknya kita membuang pembatas yang kita ciptakan sendiri atasnama organisasi dan golongan. Islam adalah satu. Sudah selayaknya siapapun saudara seimanan harus dibantu, jangan merasa paling benar dan menganggap muslim lain salah

"Tidak akan masuk kedalam surga orang yang dihatinya ada kesombongan meskipun seberat biji sawi. Lalu ada yang bertanya : sesungguhnya seseorang itu sangat senang kepada baju dan sandal yang bagus ? maka beliau berkata : sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan. Sombong itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia". 
HR Muslim.

Apakah aku sudah merasa benar? Belum, tetapi aku mau berusaha
Semoga aku tetap seperti matahari, dipedulikan atau tidak tetap bersinar terang.


Kunjungi juga bedbugdesign.com